Dengan luas wilayah sekitar 2.78 juta km2, Argentina merupakan negara terluas kedua di Amerika Selatan dibawah Brazil.
Argentina dikaruniai tanah yang subur dan kekayaan alam yang melimpah; maka tak heran apabila hasil sektor pertanian dan perkebunan (semisal gandum, tembakau, lemon, anggur, dan teh), serta sumberdaya alam (besi, mangan, tembaga, dan uranium) menjadi sumber pendapatan utama negara ini.
Dalam tata kelola pemerintahan, negara yang beribukota di Buenos Aires ini menganut sistem demokrasi presidensial (presidential democracy), dimana lembaga pemerintah dipimpin oleh seorang presiden yang ditentukan melalui pemilihan umum.
Dari perspektif ekonomi, besarnya GDP (current-price based) Argentina pada 2018 mencapai US$ 625.92 miliar, turun dari capaian 2017 diangka US$ 637.72 miliar.
Dengan populasi penduduk sebanyak 44.57 juta jiwa, capaian GDP per kapita Argentina pada 2018 berada dikisaran US$ 14.04 ribu, lebih kecil dari perolehan di 2017 sebesar US$ 14.47 ribu.
Sementara angka inflasi rata-rata Argentina pada 2018 mencapai 22.7%, sedikit membaik dari inflasi di 2017 yang mencapai 25.7%.
Dalam laporannya, Transparency International (TI) menempatkan Argentina di peringkat ke-85 dari 180 negara yang menjadi objek studi terkait upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, atau membaik 10 tingkat dari tahun sebelumnya (Transparency International. Corruption Perceptions Index 2017).
Sementara dari perspektif daya saing ekonomi, Argentina menempati urutan ke-92 dari 137 negara menurut penelitian WEF. Capaian ini membaik dari tahun sebelumnya yang menempatkan Argentina di peringkat ke-104 (World Economic Forum. The Global Competitiveness Report 2017-2018).
Untuk mengulas lebih lanjut tentang krisis ekonomi yang beberapa kali menghantam Argentina, kita akan merangkumnya dalam beberapa kurun waktu.
Era 1980’an-1990’an.
Setelah mengalami gejolak politik dan keamanan dalam negeri akibat kudeta militer (dikenal dengan istilah ‘dirty war’) yang menjatuhkan pemerintahan Isabel Martinez de Peron, Argentina mengadakan pemilihan umum pada 1983 yang mendaulat Raul Alfonsin sebagai presiden.
Pada dasawarsa tersebut, situasi perekonomian Argentina bisa dikatakan dalam keadaan terpuruk, dimana negara mengalami hiperinflasi hingga lebih dari 4,000%. Dengan situasi keamanan domestik yang masih bergejolak, era 1980’an merupakan salah satu era kelam Argentina.
Dalam masa pemerintahan berikutnya, yang dipimpin oleh Presiden Carlos Menem (1989-1999), Argentina mengambil kebijakan fixed exchange rate atau pegging (mematok nilai tukar mata uang Peso dengan US dollar) untuk menstabilkan perekonomian dan mengurangi laju inflasi.
Pemerintah juga mengandalkan bantuan IMF (the International Monetary Fund) untuk menjaga stabilitas nilai tukar Peso (sebagai catatan: bantuan IMF ini dikemudian hari menimbulkan polemik dan perdebatan di masyarakat Argentina, antara yang setuju dan tidak setuju. Hal ini serupa dengan yang terjadi di Malaysia dan Indonesia saat krisis ekonomi melanda Asia pada 1997-1998).
Upaya tersebut berhasil menekan inflasi menjadi sekitar 17.5% pada 1992 dan 4.2% di 1994.
Disamping itu, perekonomian mulai menjadi stabil dengan peningkatan GDP hingga 10% selama dua tahun berturut-turut (1991-1992).
Pemerintah Argentina juga melakukan kebijakan deregulasi dibidang perdagangan, pengurangan tarif impor, serta pelonggaran kebijakan di sektor pertanian dan ritel.
Selain itu, pemerintah melakukan privatisasi (swastanisasi) terhadap sejumlah perusahaan milik negara (state-owned enterprises), serta perampingan lembaga-lembaga birokrasi, yang mampu membuahkan hasil berupa peningkatan GDP per kapita, dari US$ 4.6 ribu di 1991 menjadi US$ 7.5 ribu pada 1994.
Namun demikian, pada pertengahan 1997 hingga awal 1998, perekonomian dunia mengalami stagnasi, dan pada saat bersamaan nilai tukar mata uang US dollar mengalami penguatan terhadap mata uang negara lain. Akibatnya, nilai jual produk ekspor dari Argentina menjadi kalah bersaing di pasar global (ingat bahwa Argentina mematok nilai mata uang Peso ke US dollar).
Di sisi lain, utang luar negeri Argentina mengalami pembengkakan akibat situasi tersebut. Hal ini pada akhirnya menyebabkan defisit neraca perdagangan dan anggaran negara.
Era 2000’an.
Kondisi krisis tersebut terus berlangsung hingga 2001, dimana terjadi peningkatan angka pengangguran di Argentina hingga 21.5% dari total angkatan kerja, serta angka kemiskinan tak kurang dari 45% dari total populasi. Pada akhirnya, pemerintah Argentina mengalami gagal bayar (default) atas utang yang mencapai US$ 95 miliar.
Pada 2003, pemerintahan berganti setelah terpilihnya Nestor Kirchner sebagai presiden.
Dalam kepemimpinannya, Argentina mampu mencapai stabilitas perekonomian yang ditandai dengan meningkatnya kinerja sektor riil. Disamping itu pemerintah juga melakukan restrukturisasi utang.
Sementara melalui kebijakan makroekonomi, terutama di sektor industri dan perpajakan, pemerintah mampu menciptakan lapangan kerja dan produktivitas, sehingga mengurangi angka pengangguran, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat.
Sayangnya, tren positif tersebut juga diikuti dengan maraknya praktik korupsi dan nepotisme. Ini mengakibatkan kemerosotan stabilitas perekonomian dalam negeri.
Setelah beberapa kali pergantian rezim, Cristina Fernandez de Kirchner (istri Nestor Kirchner), terpilih sebagai presiden pada 2007. Pada masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ekonomi yang ditetapkan banyak yang salah sasaran, misalnya kebijakan pembatasan transaksi dengan mata uang asing, sehingga justru menimbulkan black-market dan shadow economy.
Untuk kesekian kalinya, Argentina memasuki masa krisis ekonomi panjang (2008-2012). Hal ini diperparah dengan terjadinya bencana kekeringan, yang memangkas pendapatan negara di sektor pertanian dan perkebunan. Akibatnya, angka inflasi meroket hingga lebih dari 20% pada periode-periode tersebut.
Pemerintah dianggap gagal melakukan tata kelola dan akhirnya digantikan oleh pemerintahan baru dibawah Presiden Mauricio Macri pada 2015. Di masa tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan berupa penerbitan surat utang baru hingga US$ 16.5 miliar untuk membayar utang lama. Pemerintah Argentina pun berupaya menarik investasi asing untuk menanamkan modalnya di negara tersebut.
Selain itu, untuk memperkuat perekonomian, Argentina menganut sistem ekonomi terbuka (free-market competition), yang diiringi dengan kebijakan manajemen mata uang, perlindungan ekonomi domestik, serta tata kelola anggaran negara (Szepesi, Petra. Argentina’s Economic Struggle: from IMF to IMF, Institute for Foreign Affairs and Trade, KKI Policy Brief, E-2018/29).
Perekonomian Argentina di 2018.
Masih di era Macri, pada awal 2018 perekonomian Argentina kembali terguncang krisis, akibat defisit di sektor fiskal dan membengkaknya neraca pembayaran, melonjaknya utang berdenominasi US dollar, inflasi yang tinggi, serta pelarian modal asing (capital flight).
Hal ini diperparah dengan penetapan tarif pajak yang tidak kompetitif, sehingga menimbulkan terjadinya tax evasion dan tax avoidance.
Atas peristiwa itu, pemerintah Argentina kembali meminta dana bantuan dari IMF sebesar US$ 50 miliar (www.theguardian.com. Argentina seeks emergency release of $50bn in IMF funds amid financial crisis, August 29, 2018).
Kondisi tersebut menimbulkan dampak negatif pada stabilitas politik dalam negeri, mengingat seperti pada masa sebelumnya terjadi pro dan kontra atas permintaan bantuan pada IMF. Banyak pihak menyatakan bahwa mayoritas rakyat Argentina menolak campur-tangan IMF dalam krisis ekonomi yang melanda negara tersebut.
Hingga kini, krisis yang terjadi di Argentina masih membayangi situasi perekonomian domestik, dan bukan tidak mungkin akan merembet ke negara-negara lain. **
ARTIKEL TERKAIT :
Perekonomian Arab Saudi, Ancaman Krisis Dibalik Melimpahnya Cadangan Minyak Bumi
Memotret Perekonomian Madagaskar: Kemiskinan, Malnutrisi, dan Instabilitas Politik Dalam Negeri
Kondisi Perekonomian Venezuela: Krisis Ekonomi dan Ketergantungan pada Minyak Bumi
Mencermati Krisis Ekonomi Yunani - Via http://www.ajarekonomi.com/2018/09/melihat-perekonomian-argentina-bergerak.html - On September 17, 2018 at 02:28PM
LAYANAN XL BURUK - Jaringan XL Lemot - Jaringan XL Lambat - Jaringan XL Sampah - begitulah ucapan masyarakat ketika jaringan XL mati mulai 1 Desember tapi tidak ada tanggapan, saya buatkan sebuah blog yang silahkan diturunkan sendiri, - ini merupakan tanggung jawab dari CEO Dian Siswarini yang tidak melakukan kontrol ke bawahannya -
- Komplain Rangers tidak ada jawaban di FB Page
- Rangers tidak ada balasan di Kaskus care - semua pada pindah kartu ( Jangan alasan penuh mail )
- Komplain lewat aplikasi juga ngak dibalas,
Bersadarkan pantauan XL memang merubah tarifnya lebih dulu ketimbang jaringannya yang dijanjikan berubah 2 bulan sebelumnya - xl malah merubah tarif 9 Desember tapi jaringan malah semakin letoy, apa bagusnya pindah ke PRIORITAS ?? prioritas cuman membebankan kami, tidak ada gunanya, itu artinya nasibku bergantung padamu, kalau pakai prabayar, ngak suka patahkan SCnya - toh sc cuman 6000 rupiah, ngak ada nilainya, bisa dibuat melanggar undang undang lagi.
Nah mana tanggung jawab dari CEO atau dari pihak XL yang tidak memberikan konfirmasi seolah olah tidak ada masalah sama sekali, karena nyata nyata masalah besar sejak 1 Desember 2016 ada dan tidak selesai sampai tulisan ini diposting, silahkan layangkan melalui media cetak permohonan maaf - JARINGAN XL SAMPAH - JARINGAN XL LEMOT - JARINGAN XL MAHAL - PAKET INTERNET XL SAMPAH - XL AXIATA SAMPAH - DIAN SISWARINI MUNDUR - TIDAK TAHU MALU - XL MALING PULSA - XL MALING
0 Response to "Melihat Perekonomian Argentina: bergerak dari krisis ke krisis noreply@blogger.com (setiyo hn)"
Post a Comment